Rabu, 31 Agustus 2016

memaknai kalimat TUHAN tak pernah tidur

Memaknai Kalimat
Oleh Ananta Damarjati

Pada saat-saat tertentu, kalimat "Tuhan tidak pernah tidur" terdengar sangat teduh dan seolah mampu mencerabut hampir separuh beban hidup. Dalam alam bawah sadarnya, manusia beriman memang dapat dengan haqqul yaqin mengaktualisasikan kalimat ini dalam konteks keseharian. Yang menarik serta hampir bisa dipastikan, kemunculan kalimat itu dalam kesadaran diri manusia cenderung insidentil dan mencerminkan potensi psikologisnya yang khas.

Bisa dibilang, kalimat itu muncul sebagai salah satu tindak bahasa manusia, sangat konotatif. Dan biasanya, kalimat itu tercetus dengan perasaan khawatir, gelisah atau waswas, pahit, getir, dan sebagainya. Yang jelas ketika itu --simplifikasinya-- manusia berada dalam posisi tidak diuntungkan, didzalimi, pasrah, hampir kalah, dan situasi pelik lain yang terlihat mustahil bagi manusia untuk dapat diselesaikan.

Dibalik itu muncul sosok “Maha Sempurna” yang terkesan sangat dimonopoli; bahwa Dia sedang bersama saya kali ini, Dia tahu saya yang benar, maka anda memusuhi pihak yang salah, dan ribuan kalimat imajiner lain yang jika memang betul seperti itu, samasekali tidak membawa penyelesaian. Karena makna denotatifnya sangat tidak berhubungan dengan ide atau representasi psikis yang ditimbulkan kalimat tersebut kepada kesadaran.

Sebagaimana kritik Feuerbach terhadap agama. Bahwa manusia beragama karena terikat oleh alam. Manusia lemah sedangkan alam yang didapatinya sangat kuat dan ganas. Oleh karena itu untuk mengatasi, tepatnya, untuk membebaskan diri dari alam yang ganas ini manusia membayangkan suatu kekuatan berpribadi sempurna.

Dengan bayangan ini manusia mampu mengatasi segala macam penderitaannya. Ringkasnya, bayangan Allah hanyalah refleksi dari jiwa manusia yang sengsara. Seorang yang miskin mempunyai tuhan yang kaya, orang-orang cinta damai memiliki tuhan yang belas kasih. (Andi Muawiyah Ramly, 69:2009).

Pada titik selanjutnya terlihat bahwa, kalimat "Tuhan tidak tidur" kurang lebih hanya menjadi salah satu bentuk tindakan manusia yang konotasinya tidak menampilkan hakikat kalimatnya. Makna yang ditimbulkan pun tidak terikat, tergantung posisi dan kegunaan, sedang mencari keadilan kah, atau terhimpit ekonomi kah, menghadapi fitnah kah, dan lain-lain.

Dan, jika bicara kegunaan serta posisinya, sepintas terasa kalimat itu tidak terdeskripsi dengan jelas. Posisinya kabur kepalang tanggung karena ada pada titik ambivalensi antara takdir Tuhan dan ikhtiar manusia. Kegunaannya, sementara ini belum ada yang lebih tepat dari sekedar penegasan tentang situasi sulit yang sedang dihadapi manusia.

Kalau boleh disederhanakan, bercocok tanam, mencangkul, memupuk jelas ikhtiar seorang petani, manusia. Tiga bulan kedepan bisa panen atau tidak itu takdir Tuhan. Jika mengacu pada contoh ini, logika kalimat "Tuhan tidak tidur" bisa jadi muncul ketika ditengah jalan dijumpai serangan hama wereng yang sangat masif, padahal keluarga petani kecil itu sedang sangat membutuhkan panen untuk menopang biaya hidup.

Jika kalimat itu muncul dalam sinetron hari ini, niscaya penonton akan dibuat geram karena bersamaan dengan itu ada tokoh protagonis yang sedang nelangsa ditimpa musibah dahsyat, bisa jadi disebabkan serangan dari tokoh antagonis. Biasanya, oleh sutradara dramatisasi kalimat itu diletakkan sebelum titik klimaks. 

Sayangnya dunia manusia dan bahasanya tidak berada dalam tataran logika sinetron, yang punya ribuan cara untuk mengeluarkan Tuhan dari mesin cetaknya dengan rating dan iklan sebagai titik pijaknya. Kalaupun dunia nyata ada persamaan dengan beberapa situasi sinetron, hal itu tak lebih dari sekedar kemiripan sebagaimana kemiripan dalam sebuah keluarga besar.

Fenomena kalimat itu dalam keseharian, sekali lagi, persis di tengah antara takdir dan ikhtiar, status quo yang tak terdefinisikan. Dalam tataran aksiologi, kemunculannya selalu berdenyut di atas ambivalensi makna sebagai bentuk pelarian psikis (untuk tidak menyebutnya sebagai fatalis). Sehingga setelah kalimat itu terlontar, keburaman melihat permasalahan hidup terkesan semakin nyata, sulit untuk dilanjutkan.

Sebenarnya bukan menjadi masalah serius jika "Tuhan tidak tidur" muncul sebagai pelarian psikis dan berhenti disitu, fitrah manusia memang lemah, hina, tak berdaya sehingga butuh sebuah pertolongan. Dalam ilmu tassawuf hal ini menjawab pernyataan Feuerbach, sekaligus membalik paradigma antropologis barat umumnya yang berbunyi "aku berpikir maka aku ada" dengan "aku tidak ada maka Dia ada".

Masalahnya, tidak ada kejelasan posisi aku sebagai mahkluk dan Dia sebagai Tuhan dalam kalimat itu. Di sini saya bukan bermaksud untuk mendikotomiskan antara takdir dengan ikhtiar, antara berdzikir dan berpikir. Melainkan sekedar urun rembug tentang bagaimana memahami kedua hal itu sekecil apapun tindakannya. Apalagi kedua hal tersebut tidak boleh ditinggal salah satunya.

Pada kalimat itu jelas ada sebuah tindak dzikir, ingat kepada Tuhan. Idealnya hal ini patut diimbangi dengan intuisi, pengetahuan tentang konsep, kebenaran dan pemecahan masalah dalam kegiatan berpikir. Sehingga tidak terjadi paradigma yang keliru dalam memandang sebuah masalah.

Dalam berpikir, intuisi akan mengidentifikasi dirinya. Apakah --dalam hal ini terucapnya kalimat Tuhan tidak tidur-- itu sebagai ilham, waswas, atau struktur kejiwaan manusia itu sendiri. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, hal 292:2002), secara tegas membedakan antara ilham dan waswas menjadi empat.

Pertama, ilham dapat menghantarkan seseorang untuk berbuat sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT dan rasulnya, sedangkan waswas sebaliknya. Kedua, ilham dapat mendatangkan kepasrahan, penyadaran, dan hasrat untuk bermuwajahah kepada Allah SWT. Sedangkan waswas menuju pada musuh-musuh Nya. Ketiga, ilham dapat menerangi ruangan batin yang dapat melapangkan dada. Sedangkan waswas dapat mendatangkan kegelapan batin yang menyesakkan dada. Keempat, ilham dapat mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Sedang waswas mendatangkan keresahan dan kegoncangan.

Atau, sejauh yang bisa saya tangkap dari pernyataan di atas. Ibnu Qayyim mengingatkan bahwa dalam hal dzikir, ingat saja tidak cukup. Apalagi jika tergelincir menjadi dzikir tapi tidak ingat. Dalam bahasa lain, Lillah saja tidak cukup, karena setelah itu wajib untuk juga sadar Billah. Maka penting untuk memahami sebuah persoalan dengan berpikir intuitif. Itupun harus dipilah lagi antara intuisi yang benar atau menyesatkan.

Berdasarkan asumsi ini, status quo dalam kalimat "Tuhan tidak tidur", dengan kekhasan perspektif, pengalaman serta harapan yang ada di dalamnya, rasanya menjadi penting untuk ditimbang ulang penggunaannya. Apakah dengan mengucap kalimat itu disertakan pula kesadaran intuitif, Billah, untuk mendapat sebuah ilham. Atau malah timbul dari rasa waswas dan bisikan nafsani, al-khawatir.

Memang dalam satu kalimat saja bisa menimbulkan beribu penafsiran. Tapi semua bisa salah, termasuk tulisan ini. Yang jelas dalam tulisan ini hanyalah makna denotatif bahwa Tuhan, Allah SWT tidak pernah tidur, tertidur bahkan mendengkur. Lah, kalau Tuhan tidur, siapa yang berani membangunkan?

Ananta Damarjati
Penulis adalah Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri. Anggota aktif Lingkar Studi “Matakuhati” Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar